Sejak Kapan Kliping Disebut Kejahatan?
Pada demo tanggal 12 Februari di Gejayan kemarin, Masduki, guru besar Universitas Islam Indonesia (UII) mengatakan bahwa hari ini Indonesia berada di musim gugur. Tak salah, kondisi tersebut nyata terjadi. Akan tetapi, musim gugur sudah berlalu. Sudah masanya musim dingin.
Musim gugur, sebagaimana ungkapan Masduki, dicirikan dengan ditutupnya jalan kebebasan berekspresi. Jalan untuk keluar dari rumah, ditutup rapat. Jalan untuk menikmati sinar matahari, dikunci kuat-kuat. Oleh sebab itu orang harus mendekap di rumah, tidak boleh mengkritik rezim, tanpa menikmati kehangatan sinar matahari dengan ragam ekspresi. Begitulah kiranya, musim gugur itu.
Sayangnya musim gugur telah berlalu, Masduki terlambat merespons kondisi merosotnya demokrasi di Indonesia dengan lagak ramalan iklimnya tersebut. Ketika kasus Haris-Fatia melejit, misalnya, yang merupakan salah satu anomali akut demokrasi era Jokowi, tak terdengar suara sedikitpun. Haris-Fatia menjadi bagian dari ratusan korban.
Di era Jokowi, kebebasan sipil tergerus habis. Laporan Amnesty Internasional mencatat 328 kasus serangan fisik dan digital yang diarahkan kepada kebebasan sipil dengan total 834 korban sepanjang Januari hingga Mei 2022. Di kemudian hari, Amnesty International menemukan 268 pembela HAM diserang sepanjang tahun 2023. Dalam hal ini, polisi diduga paling dominan melakukan penyerangan terhadap orang-orang yang kritis kepada pemerintah.
Hari ketika tulisan ini terbit, kabar duka perihal demokrasi kembali terdengar. Buku Kronik Penculikan Aktivis dan Kekerasan Negara 1998 dilaporkan ke Bawaslu dengan dugaan black campaign. Di hari yang sama, Dandhy Laksono dan tiga pakar hukum pembuat film dokumenter Dirty Vote turut dilaporkan.
Pada kondisi ini, kutipan kalimat pertama dalam tulisan Bivitri Susanti (juga dituduh pada laporan tsb) berjudul “Kritik Bukan Kejahatan” di Majalah Tempo, 10 Desember 2023, “Sejak kapan mendiskusikan riset disebut kejahatan?” Akan terus berlaku. Konteks tulisan tersebut adalah pembelaan Bivitri terhadap Haris-Fatia. Kalimat itu harus terus digaungkan, untuk Bivitri dan semua yang dilaporkan. Sejak kapan 2 karya hasil kliping, milik Gus Muh, Dandhy Laksono, dkk, disebut kejahatan?
Musim gugur memang sudah berlalu. Tapi, tak ada salahnya bersama-sama menghukum rezim Jokowi. Untuk itu ucapan Masduki saya cantumkan di sini. Hukuman apa yang pantas? Saya kira tawaran di demo Gejayan kemarin boleh dijadikan opsi. Gagalkan pemilu, atau setidaknya musnahkan segala hal berkaitan dengan politik Jokowi. Rakyat sudah barang tentu ‘paham’. Jokowi telah dimakzulkan secara etis. Selebihnya….
Catatan Pemasar Buku Gagal
Mulanya rasa pesimis muncul, hanya seorang teman yang membeli buku ini dari tangan saya. Tapi hari ini, hati kecil saya berkata lain, “banggalah memasarkan buku berjudul Kronik Penculikan Aktivis dan Kekerasan Negara 1998”. Kegagalan berdagang kemarin-kemarin musti saya lupakan, sebab buku karya Muhidin M Dahlan sudah melebihi bayangan saya. Buku ini memantik emosi ‘yang bersangkutan’ dan berujung pelaporan penulis ke Bawaslu.
Saya tidak bangga karena Gus Muh dilaporkan. Tidak. Tapi nyatanya buku ini berhasil mengusik kekuasaan dan atau menghukumnya. Meskipun tidak dapat berperan banyak, saya mestinya bangga dengan pengaruh buku tersebut. Perihal dampak kecaman terhadap Gus Muh karena menulis buku ini, buruknya demokrasi di Indonesia menjadi jawaban.
Hingga detik ini, Muhidin M Dahlan belum menyerah. Semangatnya terus terbakar meskipun dilaporkan. Tegang, sedih, dan lucu bercampur-baur melihat cuitan beliau di akun Twitternya menanggapi laporan tersebut (capture sy taruh di bawah). Gass terossss, Gus!!!